Ketika menerima uang dari si pemuda, mamang tukang bakso menaruh uangnya di tiga tempat yang berbeda.
Si pemuda yang penasaran akhirnya bertanya,
“Mang, kalau boleh tahu, kenapa uangnya dipisahkan?”
“Tujuannya sederhana saja, saya hanya mau memisahkan mana yang menjadi hak saya, mana yang menjadi hak orang lain, dan mana hak untuk menyempurnakan iman,” jawab mamang tukang bakso.
Si pemuda yang belum paham maksud dari si tukang bakso, akhirnya kembali meminta penjelasan yang sedikit lebih detail.
Dengan tersenyum, si mamang tukang bakso pun menjelaskan.
1. Hasil jualan yang masuk ke dompetnya, adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya bersama keluarganya.
2. Hasil jualan yang masuk ke laci adalah untuk sedekah atau dijadikannya tabungan untuk ibadah Qurban yang telah dia lakukan sejak 17 tahun yang lalu.
3. Hasil penjualan yang masuk ke celengan adalah tabungan untuk menyempurnakan iman, yaitu ibadah haji bersama istrinya. InsyaaAllah, dia dan istrinya akan menunaikan ibadah haji.
Jawaban mamang tukang bakso yang sangat mulia itu membuat si pemuda sejenak terdiam, lalu berkata kembali, “Mang, Haji itu kan bagi yang mampu saja?”
“Itulah sebabnya, sebenarnya akan malu jika berbicara tentang mampu atau tidak mampu, karena definisi mampu bukan hak Pak RT atau Pak RW, bukan juga hak Pak Camat bahkan MUI.
Definisi ‘Mampu’ adalah sebuah definisi dimana kita diberi kebebasan untuk mengartikannya sendiri.
Jika kita mendefinsikan diri kita sebagai orang yang tidak mampu, maka mungkin selamanya kita tak akan pernah menjadi orang yang mampu.