Oleh karenanya, umat Islam dilarang lebih mementingkan satu dari lainnya.
Selain tidak boleh hanya berorientasi pada dunia, umat Islam juga dilarang hanya berorientasi pada akhirat.
Keduanya harus seimbang: dunia iya, akhirat juga iya.
Keseimbangan itu bisa terwujud jika seorang hamba menyibukkan diri dengan tiga hal: pertama, membekali diri untuk kembali ke tempat asalnya (tazawwudu li ma’ādin), yakni dengan memperbanyak amal saleh.
Amal yang baik adalah yang dikerjakan secara istiqomah dan tidak membuat seseorang menjadi bosan.
Dari ‘Aisyah radliyallahu anha., Nabi Muhammad SAW. Bersabda,
خُذُوا مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَوَاللَّهِ لَا يَسْأَمُ اللَّهُ حَتَّى تَسْأَمُوا
Artinya, “Hendaklah kalian beramal sesuai dengan kemampuan kalian, karena demi Allah, Allah tidak akan bosan hingga kalian sendiri yang bosan” (HR. Bukhari & Muslim).
Kedua, berjuang untuk membiayai kehidupannya di dunia (mu’natun li ma’āsyin), yakni dengan bekerja.
Allah SWT membenci hamba yang malas beraktivitas. Dalam banyak ayat al-Quran, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk bertebaran di muka bumi dalam rangka mencari rizki dan karunia-Nya.
Pekerjaan yang baik adalah yang diniatkan dan diorientasikan untuk meraih keridhaan Allah SWT.
Ketiga, mencari kesenangan dengan cara yang halal (thalabu ladzdzatan bi halalin).
Islam tidak pernah membatasi umatnya untuk mencari kesenangan di dunia, selama kesenangan itu tidak melanggar aturan yang sudah ditetapkan Allah SWT.
Kesenangan itu bisa dicari di keluarga, hewan peliharaan, olahraga, dan sebagainya.
Jangan sampai terbesit anggapan di pikiran kita bahwa Islam adalah agama yang memutus mata rantai kebahagian dan kesenangan umatnya.