GENMUSLIM.id – Dalam kehidupan modern yang semakin kompleks, manusia kerap merasa tertekan dan gelisah. Kehidupan yang serba cepat dan tuntutan dunaiwi yang tinggi membuat hati sulit untuk tenang.
Padahal, ketenangan hati adalah dambaan setiap insan. Islam sebagai agama yang sempurna, telah memberikan jawaban atas pencarian ketenangan ini.
Ternyata, salah satu sumber ketenangan yang paling mujarab adalah Al-Qur’an. Hal ini sudah disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu haditsnya.
“Itulah as-sakinah (ketenangan) yang turun bagi (pembaca Al-Qur’an).” (HR. Muslim no. 1325)
Hadits ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang keajaiban Al-Qur’an. Ketenangan yang dimaksud di sini bukanlah sekadar ketenangan fisik atau ketenangan sementara, melainkan ketenangan jiwa yang mendalam dan abadi.
Baca Juga: KULTUM SINGKAT: Hati-Hati Melakukan Hal Satu Ini, Bisa Membuat Kehancuran Dalam Hidup!
Ketenangan hakiki adalah yang berasal dari hati yang tentram dan jiwa yang damai. Allah Ta’ala juga telah mengingatkan kita dalam firman-Nya di surah Ar-Ra’d ayat 28.
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Dikutip GENMUSLIM dari buku Ighatsatul Lahfan pada Selasa 6 Agustus 2024, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah mengutip ucapan seorang ulama Salafush Shalih.
“Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini.”
Maka ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?” Ulama ini menjawab, “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.”
Ibnu Qayyim kemudian mengutip lagi ucapan gurunya, yaitu Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yang beliau cantumkan di buku Al-Wabilush Shayyib.
