Lalu bagaimana islam memandang hal ini? Menurut sumber NU Online, insiden semacam ini pernah terjadi pada salah satu pasangan di zaman Nabi Muhammad SAW.
Pasangan yang bernama Hindun dan Abu Sufyan, dimana Abu Sufyan ini terkenal dengan sosok suami yang pelit.
Suatu hari sang istri yang bernama Hindun tak punya pilihan lain untuk mengambil uang sang suami secara diam-diam.
Ketika ia merasa bersalah akhirnya Hindun mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk berdiskusi.
Dalam sebuah riwayat hadist diceritakan :
“Aisyah ra menceritakan bahwa Hindun pernah bertanya kepada Nabi Muhammad saw. "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan suami yang pelit. Nafkah yang diberikannya kepadaku dan anakku tidak cukup, sehingga aku terpaksa mengambil uang tanpa sepengetahuannya," kata Hindun.
"Ambil secukupnya untuk kebutuhanmu dan anakmu," Jawab Nabi saw (HR Al-Bukhari, Ibnu Majah).
Dari hadis ini para ulama berpendapat bahwa seorang wanita berhak menerima mahar dan nafkah serta perlakuan yang manusiawi dari suaminya.
Istri memiliki hak finansial dan non-finansial, yang mencakup mahar dan nafkah serta memastikan perlakuan baik dan menyenangkan.
Syekh Wahbah Az-Zuhaili salah seorang cendikia muslim ternama asal suriah, mengatakan : 

“Istri memiliki hak atas materi berupa mahar dan nafkah; dan hak non materi berupa perlakuan yang baik, interaksi yang menyenangkan, dan keadilan”
(Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], Edisi Kedua, Vol. VII, hlm.
Oleh karena itu, suami harus memberi nafkah kepada istri dan berada dalam posisi memahami kebutuhan finansial keluarga. ***