Namun tak disangka bandit tersebut justru mengatakan “kau mengaku memiliki wawasan, tetapi sebaliknya ketika ku ambil bukumu seharusnya belajarlah dengan hati bukan buku” kemudian bandit tersebut mengembalikan bukunya.
Imam Al-Ghazali menganggap perkataan bandit tersebut sebagai teguran dari Allah, tiga tahun setelahnya imam Al-Ghazali mampu menghafal semua buku dan catatannya.
Memiliki jiwa yang haus akan ilmu, imam Al-Ghazali kembali berkelana ke Naisabur dan berguru pada imam Haramain al-Juwaini, sosok cendekiawan ilmu kalam tersohor pada masa itu.
Al-Ghazali dengan tekum mempelajari ilmu fikih, Aqidah, ilmu logika, ilmu kebikjasanaan, dan ilmu filsafat.
Berkat ketekunannya Al-Ghazali mampu menguasai ilmu yang dipelajarinya, hingga sang guru pun memuji bahwa “Al-Ghazali adalah lautan yang tak berdasar”.
Kemudian imam al-Ghazali diundang oleh Nizab al-Mulk ke kota Baghdad untuk mematahkan dan melenyapkan ajaran kelompok bathiniah yang menyesatkan
Di Baghdad imam Al-Ghazali menjadi seorang pengajar dan mempelajari bahasa Yunani.
Pada saat itu pula Al-Ghazali mulai mengajar filsafat dan mempelajari ideologi Dinasti Fatimiyah.
Selama proses belajar yang cukup lama, imam Al-Ghazali menemukan adanya kekurangan dalam gagasan filsuf seperti Aristoteles, Socrates, dan Plato.
Al-Ghazali menemukan adanya filsuf yang menggunakan filsafat Yunani untuk merusak keimanan orang islam.
Kemudian Al-Ghazali mengetahui bahwa kelompok Batiniah mencampur adukkan ajaran mereka dengan ilmu filsafat dan ilmu logika untuk menghancurkan keyakinan Dinasti Fatimiyah akan keimanan yang mereka percaya.
Setelah belajar dan menganalisis secara mendalam imam Al-Ghazali mulai menulis kiitab yang berjudul Maqasid al-Falasifah.
Kitab ini menjelaskan tujuan dari filsafat secara mendalam dan memuji filsafat itu sendiri.
Hal ini bertujuan agar imam Al-Ghazali lebih mudah diterima dan dikenal oleh para filsuf.