GENMUSLIM.id - Setelah wafatnya Nabi Muhammad, prinsip musyawarah dalam pemilihan pemimpin telah berlangsung dengan lancar.
Hal ini karena kaum Muslim telah terbiasa menerapkan prinsip ukhuwah Islamiyah, yang mengutamakan kesepakatan bersama dan menerapkan hasil musyawarah dalam kehidupan sehari-hari sejak masa kenabian termasuk dalam proses pemilihan pemimpin.
Dari kisah lancarnya proses musyawarah yang akhirnya menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Rasulullah, terjadi perdebatan sengit dalam proses pemilihan pemimpin antara sahabat Anshor dan Muhajirin.
Perdebatan antara kedua belah pihak tersebut adalah hal yang wajar dalam proses musyawarah yang terbuka.
Namun, perdebatan tersebut akhirnya berujung pada pengakuan kesukuan.
Suku Khazraj menunjuk Sa’ad bin Ubadah sebagai khalifah, tetapi suku Aus menolaknya karena menganggap lebih baik jika khalifah berasal dari kaum Muhajirin.
Meskipun demikian, suku Khazraj tetap bersikeras atas pilihannya, sedangkan suku Aus mempertahankan pendiriannya.
Baca Juga: Tolak Dinasti Politik: Kisah Sayyidina Umar dalam Mencegah Keterlibatan Keluarga dalam Pemerintahan
Akhirnya Abu Bakar terpilih sebagai khalifah melalui proses pemilihan yang terbuka.
Proses tersebut ditandai dengan perdebatan antara Anshar dan Muhajirin, tetapi akhirnya mereka sepakat memilih Abu Bakar As-Shiddiq.
Perdebatan sengit yang berujung pada pengakuan kesukuan dapat ditengahi oleh Abu Bakar melalui pidatonya yang penuh kebijaksanaan.
Dalam pidatonya, Abu Bakar mengakui bahwa dirinya bukanlah yang terbaik di antara mereka dan siap untuk diberhentikan jika melakukan kesalahan.
Dia juga menekankan pentingnya memberikan hak kepada setiap individu tanpa memandang status sosial.