Namun, anak tidak harus menjadi yatim untuk kehilangan figur ayah yang sebenarnya.
Fenomena ayah yang ada tetapi tidak memenuhi perannya ini adalah hal yang perlu mendapat perhatian khusus.
Meskipun memberi nafkah adalah amal yang mulia, peran ayah sejatinya melampaui itu.
Anak-anak belajar tentang pengambilan keputusan, kepemimpinan, dan keteguhan pada prinsip-prinsip hidup dari ayah mereka.
Mereka juga memperoleh rasa aman dan kepercayaan diri dari sosok ayah.
Dalam sebuah seminar dengan pasangan konselor pernikahan, ditekankan bahwa baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki sisi maskulinitas dan femininitas.
Meskipun seringkali kita berpikir bahwa laki-laki tidak boleh menunjukkan sisi feminin, dan sebaliknya, perempuan tidak boleh menunjukkan sisi maskulin, namun kenyataannya setiap individu memerlukan kedua sisi tersebut.
Idealnya, laki-laki memiliki 75% maskulinitas dan 25% femininitas, sementara perempuan memiliki 75% femininitas dan 25% maskulinitas.
Anak-anak belajar untuk mengembangkan sisi femininitas dari figur ibu.
Sisi ini mencakup cinta yang lembut, sosok yang penuh perasaan, pelindung, pendukung, pemberi afeksi, pemberi pengampunan, dan penjaga kedamaian serta keharmonisan.
Sisi maskulinitas dipelajari anak-anak dari figur ayah. Ini mencakup cinta yang tegas, sosok yang berpikir rasional, penantang, serta menjadi penentu kemandirian, pengembangan rasa harga diri, dan tanggung jawab.
Setiap anak memiliki fitrah cinta dan seksualitas, dan sebagian besar perkembangan ini tergantung pada bagaimana orang tua menjaganya agar tumbuh secara sehat.
Meskipun fitrah ini mungkin tidak berkembang dengan baik, manusia memiliki kemampuan untuk belajar dan mengubah diri. Mereka bukan makhluk yang statis, tetapi memiliki kemampuan untuk mengubah diri.
