Matahari hampir tenggelam, hari mulai berakhir, orang-orang berkumpul untuk menunggu kedatangan si pemuda lusuh.
Umar berjalan mondar-mandir menunjukkan kegelisahannya. Kedua pemuda yang menjadi penggugat kecewa karena keingkaran janji si pemuda lusuh.
Akhirnya tiba waktunya penqishashan. Salman dengan tenang dan penuh ketawakalan berjalan menuju tempat eksekusi.
Hadirin mulai terisak, karena menyaksikan orang hebat seperti Salman akan dikorbankan.
Tiba-tiba di kejauhan ada sesosok lelaki berlari terseok-seok, jatuh, bangkit, kembali jatuh, lalu bangkit.
"Itu dia!" teriak Umar.
"Dia datang menepati janjinya!"
Dengan tubuhnya bersimbah peluh dan nafas tersengal-sengal, si pemuda lusuh itu ambruk di pangkuan Umar.
"Hh..hh.. maafkan.. maafkan.. aku, wahai Amirul Mukminin.." ujarnya dengan susah payah.
"Tak kukira urusan kaumku menyita banyak waktu. Kupacu tungganganku tanpa henti, hingga ia sekarat di gurun. Terpaksa kutinggalkan lalu aku berlari dari sana."
"Demi Allah", ujar Umar menenanginya dan memberinya minum.
"Mengapa kau susah payah kembali? Padahal kau bisa saja kabur dan menghilang?" tanya Umar.
"Aku kembali agar jangan sampai ada yang mengatakan di kalangan Muslimin tak ada lagi ksatria menepati janji," kata si pemuda lusuh sambil tersenyum.
Mata Umar berkaca-kaca, sambil menahan haru lalu ia bertanya,
"Lalu engkau, Salman, mengapa mau- maunya engkau menjamin orang yang baru saja kaukenal?"