GENMUSLIM.id- Mencintai kehilangan menjadikan Aini memandang sisi terbaik dalam kehidupan adalah ketika melibatkan Allah, meskipun semua itu baru hadir prosesnya di kehidupan gadis 25 tahun itu.
Beberapa bulan lalu, Aini menemukan bentuk mencintai kehilangan ketika seseorang yang biasa ia masukkan namanya dalam doa-doa harus dipaksa terhapuskan, bukan sebab sudah berhenti melibatkan Allah dalam harapnya, hanya mencoba bijak dalam memilih tentang mana ikhtiar atau tawakal.
Baca Juga: Cerpen Tentang Cinta: Memaknai Kehilangan Dari Sudut Pandang Seorang Hindun Perempuan Pecinta Kopi
Lebih dari itu, Aini memilih mencintai kehilangan yang saat itu adalah takdir yang Allah kehendaki meskipun jauh dari rasa inginnya sendiri dan perempuan mungil itu menanamkan ke dalam hatinya untuk move dengan cara melibatkan Allah dalam setiap hal pilihannya.
Daun terbang bersama angin, berhembus dengan kuatnya ke arah Aini yang tengah menunggu ojek online menuju tempat yang telah disepakati bersama seseorang yang ‘istimewa’ baginya tanpa tahu bahwa itu awal dimulainya kesedihan karena cinta yang ia akhirnya memilih mencintai kehilangan..
Kurung waktu 10 menit berlalu, motor matic dengan warna hitam menghampirinya, bersama dengan berhenti motor pun pertanyaan memastikan customer dari sang driver adalah benar Aini.
Beruntung, Aini adalah yang dimaksud ojek online tersebut, maka berakhir sudah penantian malam ini untuknya dan mulai menuju lokasi.
Sesuai tebakan Aini, Bagas sudah di sana menunggunya.
Dengan senyum sumringah Aini duduk di hadapan Bagas yang saat itu terlihat berbeda di matanya, wajahnya lebih suram dari biasanya dan rautnya seolah ingin menjatuhkan apa yang ditahannya.
Seketika senyum Aini berubah, benaknya berpikir tentang apakah kesedihan karena cinta yang membuat Bagas berekspresi demikian atau hanya tentang kedatangannya yang lama hingga sebal menunggu.
Usai mendarat di kursi depan Bagas, selanjutnya makanan pesanan datang yang nampaknya sudah dipesan Bagas terlebih dahulu.
Penghidangan dilakukan, menjadi pengisi suara dalam keheningan di dalamnya.
Pada suapan pertama, Aini masih dapat tertawa dan memenuhi bahagia bahwa menu pilihan Bagas ternyata enak.
Suapan kedua seketika hambar, sebab bersamaan dengan ucapan Bagas tentang ia yang akan segera menikah, dunia Aini seolah runtuh dalam hitungan beberapa detik saja saat itu juga. Aini menghentikan suapannya dan mencoba menarik bibirnya ke atas seolah menahan sesuatu yang akan terjatuh saat itu juga.
“MasyaAllah, Barrakallahu Fikkum, Gas! Semoga Allah mudahkan prosesnya…”
Kata yang jelas sudah sangat berbalik dengan perasaan tanpa tahu akan alasannya, benar saja, bakat akting yang didapat di bangku kuliah sebagai mata kuliah berguna di kehidupan nyatanya.
Sekuat tenaga Aini mengigit bibir dalamnya supaya bisa menahan bendungan yang telah penuh untuk pecah, sembari berpikir kesedihan karena cinta atau hanya kehilangan teman dekat, pikirannya bertanya di dalam kepala.
Aini masih dengan senyumnya dan menanyakan dengan siapa serta kapan pernikahan itu diadakan.
Melihat respons Aini, Bagas bernapas lega akan hal itu, sebab pikirannya selama ini berputar tentang Aini yang memiliki rasa dengannya. Terhitung sudah dua tahun ia dan Aini menjadi teman bertukar pikiran, saling memberikan dukungan dan bahkan beberapa hal yang menjadi keputusan di masa saat ini dalam kehidupan Aini ataupun dirinya adalah hasil diskusi mereka.
Aini mencoba terus enjoy mendengarkan celoteh Bagas, seperti biasa, namun sebenarnya kepalanya seperti benang kusut yang tengah merangkai dan meluruskan diri, terlalu berbelit hingga rasanya makanan tadi yang dengan lahap dimakan seakan mulut membuka pun sudah enggan.
Rancauan-rancauan kecil di dirinya membludak sampai ingin meledak, sesekali air mata mulai ingin terjatuh yang dengan cepat ia memandang langit yang menjadi atap mereka saat ini.
“Prosesnya baru mulai. Dengan siapa-nya, biar nanti jadi kejutan buat kamu ya Rahma” begitulah panggilan dari Bagas dari nama belakang yang biasa digunakan hanya oleh keluarga inti Aini di rumah.
“Hem..baik ini udah jadi kejutan si sebenernya, kirain apaan kan sampe mau ketemu banget nyampeinnya, biasa juga via telepon”
“iya. Sama biar gak ada kesalahpahaman apa pun. Kan aku pernah bilang, kalau suatu hari aku mulai proses, komunikasi pun bakal gak sesering biasanya”
“Bahkan hilang, kan?” ucap Aini dalam menatap sudut lain langit yang nampak cantik dengan taburan bintang, lokasi cafe ini sengaja diambil karena tidak jauh dari rumah Aini dan tidak menyangka bahwa pemandangan rooftop-nya akan secantik ini.
“Ngak apa-apa, santai. Kan kamu udah pernah bilang sama aku tentang itu. Semoga Allah mudahkan semuanya dan kuat buat jalani skenario yang Allah susun. Aamiin…”
Bagas mengaminkan doa baik itu, entah untuk siapa Aini pun tidak tahu, ia hanya terus memandang langit dan menghitung satu demi satu bintang yang bertaburan, makanannya pun sudah tak habis rasanya ditelan. Ia menghembuskan napas yang terasa amat berat terkumpul di kepala.
“Kebiasaan kamu ini Ai, gak abis makanannya”
“Kenyang, Gas”
“Udah dibilang, jangan makan malam dulu”
Iya, Aini sebenarnya mengikuti perintah Bagas, tapi entah kenapa rasanya nafsu makannya hilang entah kemana. Perut yang kosong seolah sudah terisi penuh oleh makanan di lambungnya, sudah tak muat lagi untuk isi piring itu masuk menjadi bagiannya.
Usai makan dan jam hampir menunjukkan pukul 9 malam, Aini memesan ojek online dengan tetap ditemani Bagas yang seperti rutinitas biasanya apabila Aini kemalaman pulang kerja atau ke mana pun maka Bagas yang biasa masih nongkrong di luar akan mengiringi ojek online hingga sampai ke depan rumah Aini melihatnya masuk dengan selamat.
“Nanti kalau kamu kemalaman, gak apa kabari aku. Gimana juga kamu pada akhirnya terima kerjaan ini, sebab banyakan saran aku juga kan”
“InsyaAllah. Sebenernya gak juga, aku udah ada jawaban dan mau ngeyakinin diri aja kemarin tuh”
“Hem…padahal besaran nolaknya banding nerima” Aini hanya tertawa ringan mendengar ucapan Bagas. Tidak lama ojek yang ditunggu datang.
Perjalanan malam itu yang sebenarnya hanya lima menit terasa sangat lama berjalan bagi Aini, entah kenapa? Sampai ia berpikir bapak ojeknya ambi jalan muter yang jauh hingga akhirnya sampai di depan rumahnya, membayar dan pergi ojeknya.
Sebelum masuk rumah, Aini mengisyaratkan Bagas untuk menunggu sebentar untuk menghampirinya seperti akan menyampaikan sesuatu.
“Ni, obat vertigo kamu. Lupa terus ngasinya, jangan ditolak meskipun kamu gak mau makannya, jangan deniel sama sakitnya kamu. Sayangi diri kamu, kalau gak mungkin jangan dipaksa, semua akan baik-baik aja kalau kamu sakit, kecuali Umi sama kamu sendiri. Boleh berusaha, tapi gak dzolim”
Aini tersenyum mengakhiri kalimat panjangnya, menyodorkan bungkus obat yang hampir setiap bertemu diberikan kepadanya untuk disimpan dengan alasan sederhana bahwa Bagas bisa tidak akan kambuh dan apabila sudah sangat mepet maka baru diminumnya obat itu.
Pernah satu hari Bagas hanya tidur selama dua jam, hampir hilang kesadaran membuat Uminya menangis melihat kondisinya, Aini yang tahu perkara sakitnya langsung menuju rumahnya tanpa berpikir tidak ada yang mengenalnya.
Sesampai di sana ia segera memberikan obat Bagas kepada Uminya dan benar, hitungan jam dengan perantara obat tersebut dari Allah, Bagas sudah mampu tersenyum dengan ekspresi polosnya itu.
Pada hari itu, Aini mengetahui bahwa sebenarnya seisi rumah Bagas mengetahuinya, meskipun belum tau wujudnya.
“Ai ini tempat Bagas ngutang Mi, sering juga masakin Bagas, udah kayak punya adik kecil kalau sama dia, bawel banget, mirip kayak Loli keponakan satu-satunya” begitulah kurang lebih cerita yang didapatkan oleh Aini, pun setelah hari itu pertemuan selanjutnya dengan Bagas penuh dengan omelan.
“Kreatif banget bunuh diri, udah mencintai kehilangan banget ya?”
“Biasa Ai, deadline”
“Perusahaan akan baik-baik aja kehilangan kamu Gas, tapi gak buat Umi. 2 jam tidur, gak masuk akal tau. Udah aku mau pulang, capek ngomong sama orang yang kekeh sama prosesnya, fleksibel sedikit aja, jangan keras banget sama diri. Dzolim tau”
Aini pergi berlalu usai mengucapkan hal itu dan itu menjadi hari terakhir Bagas kambuh sakitnya, setelahnya memang ada pusing sedikit tetapi bukan taraf yang parah. Kambuhnya hanya sepintas yang apabila istirahat 1-2 jam akan kembali baik-baik saja.
Baca Juga: Cerpen Pendidikan Islam: Cahaya Pencari Ilmu
Ingatan itu benar-benar berputar seperti kaset rusak dalam kepala Aini, semakin ia ingat semakin rasanya pelupuk matanya berat. Aini sungguh tidak memahami sedang apa ia saat ini, rasa apa yang menggulung dadanya hingga membuat sesak. Aini terus menghitung dan menyatukan potongan-potongan puzzle yang bermunculan ke permukaan.
Hari berlalu begitu saja, kehilangan benar-benar sedang hadir dalam kehidupan Aini, pekerjaan juga seolah tidak berpihak kepadanya, selalu ia gagal dalam memenuhi target tulisan yang membuatnya harus mendapatkan beberapa kali teguran yang setelahnya ingin ia tangisi.
Renungan terhadap respons dirinya pun menjadi semakin berputar di kepalanya. Kejutan lain membaca jalannya lagi, Aini harus kehilangan Ayahnya untuk selamanya, tiada yang tahu, teman jauhnya termasuk Bagas tidak mengetahui kabar itu.
“Aku turut berduka cita ya” seseorang yang amat dikenali suaranya menghampiri Aini yang tengah memeluk nisan sang Ayah.
“Dwi! Makasi ya, udah datang. Kamu kapan pulang Indonesia?”
“Sama-sama… baru beberapa pekan ini. Kamu harus semangat lagi ya, kayak Aini biasanya, nanti kita hangout lagi kayak SMA dulu”
Baca Juga: Cerpen Inspirasi: Different Path, Kisah Da-Eun Laki-laki Mualaf Yang Jatuh Cinta Pada Fathiya
Kehadiran Dwi, teman masa sekolahnya cukup membuatnya sibuk seketika, ia merasakan mungkin sesaknya tidak berkesudahan disebabkan karena ia kehilangan seorang teman dan akan membaik seiring digantikan oleh Dwi.
Sepeninggalan sang Ayah dan penerimaan diri bahwa ia kehilangan sosok Bagas di kehidupannya bahkan ketika fase terendahnya, orang tersebut tak hadir maka ia mulai berpikir apa yang tengah ia rasakan adalah apa yang allah inginkan.
Tidak ada hal buruk yang allah berikan, selalu akan ada alasan yang baik dalam segala hal. Beberapa kali menemukan nasihat tentang kehilangan yang baik adalah saat semakin membuat kita rajin mendekatkan kepada Allah.
“Ini undangan buat kamu” Dwi menyerahkan sebuah kartu berwarna mocca ke hadapan Aini, sempat seakan tak bernapas membaca nama di undangan.
“Bagas Prandita?”
“Iya, kenapa Ai”
“Temen aku, sempit ya dunia ini” Dwi terkejut sekaligus bahagia mendengarnya, sedangkan Aini entah apa arti pandangan dan senyumnya saat ini. Ada rasa ingin hari itu berakhir hanya sekadar mimpi atau kisah untuk ‘prank’ dia saja.
Namun ini adalah kenyataan dan ia sadar betul.
Awan berhasil memuntahkan isi yang membuatnya menghitam, bersamaan dengan itu lagu mencintai kehilangan berputar merdu dan berulang di kamar Aini.
Aini terisak mencoba menerima semua keadaan meski terasa perih tapi ia tau temannya adalah orang-orang baik yang sedang menuju kebaikan berupa pernikahan.***
Sobat muslim yang baik hatinya, ingin mendapat berita update setiap hari Genmuslim.id? Ayo gabung di grup telegram "GENMUSLIM NEWS", caranya klik link https://t.me/genmuslimnews, kemudian join. langkah pertama instal aplikasi telegram di ponsel.