Usai menempel dan mengambil foto banner kemerdekaan Indonesia tersebut, Pak Kusno berlalu dengan gawai yang menempel di telinga sebagai tanda ia mengobrol dengan seorang yang ada di seberang sana.
Baca Juga: Cerpen: Petualangan Dika di Dunia Fantasi dalam Hutan
Setelah kepergian pemimpinnya, panitia berangsur kembali menjalani tugas-tugasnya seperti sedia kala, menggunting, menempel, memasang tidak ada yang menganggur, terutama mulut yang terus bicara dengan temannya atau makan gorengan yang dibeli tim konsumsi di seberang jalan.
“Eh tau tidak, si Tini sudah jarang kumpul karang taruna, denger-denger abis putus dari Joko” semua mata tertuju menyimak dengan saksama. Volume suara mengecil dan barisan merapat, seolah jangan seorang semut pun yang bisa mendengar percakapan mereka.
Bukan tanpa sebab, sebenarnya pun hati nurani mereka tahu bahwa yang dilakukan adalah kesalahan dan membuat secara natural badan bereaksi menyembunyikannya.
Tini dan Joko sebenarnya hanya dua orang teman yang bertetangga sedari kecil dekat dan bermain bersama, pernah satu dua kali mereka pergi bersama untuk berkumpul di karang taruna. Joko sendiri merupakan ketua karang taruna, terkenal alim dan selalu subuh di masjid.
Banyak yang percaya akan kedekatan mereka adalah hubungan pacaran, tetapi ada juga yang menganggap bukan.
Pikiran-pikiran yang menganggap bukan berdasarkan tingkah laku mereka yang sekadar dekat tanpa pernah berlaku layaknya orang pacaran, ditambah kealiman Joko yang terkenal sering juga ikut kajian ke beberapa masjid.
Teman-teman yang paham menasihati supaya meskipun bertetangga coba untuk tidak bersama pergi untuk menghindari obrolan panas.
Obrolan semakin menjadi karena di hari persiapan Joko juga tidak hadir, apa lagi Tini. Mereka seperti janjian untuk tak hadir secara bersamaan.
Matahari mulai membentuk rona jingga, tim panitia perayaan kemerdekaan Indonesia RT 15 itu tengah membereskan semua peralatan dengan hikmat, sebab pertanda akan segera pulang ke rumah masing-masing.
Kehitmatan itu terpecah dengan kedatangan Larso dari kejauhan seolah ada kabar penting untuk semua umat di muka bumi.
Belum sampai dan masih terengah-engah Larso menarik napas, tetapi semua sudah berkerumun meminta jawaban apa yang dibawa Larso. Tarikan napasnya pun seakan-akan dihitung oleh semuanya.