GENMUSLIM.id - Menurut hasil Susenas 2022, persentase perempuan yang memilih childfree di Indonesia saat ini sekitar 8 persen, hampir setara dengan 71.000 orang.
Jumlah ini setara dengan 0.1 persen perempuan berusia 15-49 tahun. Dengan kata lain, dari 1000 perempuan dewasa, satu di antaranya telah memilih untuk hidup childfree.
Angka ini meningkat dalam 4 tahun terakhir.
"Persentase perempuan childfree di Indonesia cenderung meningkat dalam empat tahun terakhir. Meskipun prevalensinya sedikit tertekan di awal pandemi Covid-19, namun persentasenya kembali menanjak di tahun-tahun berikutnya,” bunyi artikel DATAin BPS.
Istilah childfree ini memang terkesan memiliki konotasi negatif seperti egois atau riang yang pada gilirannya, menyiratkan keadaan kekanak-kanakan; perempuan yang hanya ingin bebas tanpa memiliki tanggung jawab sehingga menjadi seperti anak-anak.
Namun, generasi muda Indonesia agaknya perlahan meyakini fakta bahwa pilihan untuk tidak memiliki anak dipandang sebagai hal yang membebaskan bagi perempuan yang membuat pilihan untuk childfree, sehingga pemahaman tersebut bermakna lebih positif dan mencerminkan perspektif emansipasi perempuan.
Dalam suatu penelitian dalam jurnal penelitian Environmental Psychology, keengganan memiliki anak atau childfree ternyata berhubungan dengan Eco Anxiety atau adanya kecemasan lingkungan.
Yang mana juga berkaitan dengan depresi, kecemasan, stres, insomnia, PTSD, gangguan kognitif-emosional dan fungsional, hal ini terutama terjadi pada generasi muda, perempuan, dan negara-negara miskin.
Baca Juga: Childfree Jadi Gaya Baru Pernikahan, Diperbolehkan dalam Islam?
Eco Anxiety (kecemasan lingkungan) dapat didefinisikan sebagai reaksi emosional masyarakat berupa kekhawatiran, kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan akan masa depan atau ancaman perubahan iklim global dan degradasi lingkungan yang terjadi secara bersamaan.
Baru-baru ini data statistik menunjukkan bahwa angka pernikahan di Indonesia menurun sementara angka perceraian meningkat, keduanya dilatarbelakangi (sebagian besar) oleh faktor ekonomi.
Hal ini pun juga disebabkan adanya ketakutan akan masa depan yang berhubungan dengan ekonomi.
Perubahan iklim dan degradasi lingkungan menjadi pemicu penurunan jumlah pangan yang mengakibatkan meningkatnya biaya produksi pangan, selain itu juga dapat meningkatkan berbagai masalah kesehatan masyarakat.