Akibatnya, anak-anak akan merasa terbuang, melampiaskan amarahnya dg berbagai cara tak wajar, seperti menganiaya temannya.
Anak-anak yang merasa terbuang akan menarik diri, tidak punya teman, dan anak-anak takut dianggap tidak betah di pondok karena malas, sehingga mereka enggan bercerita masalahnya kpd siapapun.
Anak-anak yang menarik diri seperti ini lebih sering menjadi korban bullying. Tak hanya itu, mereka juga rentan menjadi homoseksual.
- Orangtua pasrah sepenuhnya terhadap kyai.
Meskipun orangtua mempercayakan pendidikan anak terhadap kyai, tapi orangtua seharusnya tetap aktif terlibat.
Minimal orangtua skeptis terhadap sistem yang diterapkan di pondok pesantren.
Selain memberi kepercayaan terhadap pesantren, orangtua pun harus tetap aktif memperhatikan perubahan apa saja yang mungkin dialami oleh anak-anak kita selama berada di pesantren untuk terus kita konsultasikan dengan pihak pesantren.
- Memaklumi perilaku bullying.
Orang-orang dewasa kerap memaklumi perilaku bullying sebagai cara bercanda yang lumrah.
Anak-anak mungkin akan melakukan bullying diluar pengawasan orang dewasa, akan tetapi, dalam sepengetahuan orang dewasa mereka akan tampak terlihat normal sebagai teman akrab yang saling bercanda.
- Kebijakan dan sistem dalam pesantren.
Meskipun wali murid pasrah sama kyai, tapi apakah kyai akan memperhatikan para santri satu demi satu?
Nonsense! Oleh sebab itu, perlu adanya perjanjian antara pihak pesantren & orangtua tiap semester atau pada momen-momen seperti imtihan atau haflah akhirusanah bisa digunakan sebagai waktu membangun silaturahmi dengan wali murid.
Hal ini untuk mendiskusikan bagaimana perkembangan anak-anaknya, bukan hanya berkonsultasi mengenai perkembangan nilai sekolah/pesantren, melainkan juga berkonsultasi mengenai kondisi anak-anak dan aktifitas sosial anak selama di pesantren.
- Penempatan santri tidak berdasarkan kelas.
Kasus bullying di pesantren dimulai dari perasaan ingin menunjukkan superioritas masing-masing, santri yang merasa superior (biasanya terjadi pada santri lebih senior atau kakak kelas) yang cenderung ingin menunjukkan kekuatannya dengan merundung santri yang dicap lemah.
Misalnya, santri yang pendiam, masih baru atau yang tidak punya kawan. Pengelompokan (kamar tidur) santri baru bersama santri lama dapat menjadi ruang euforia para santri lama untuk menunjukkan superioritasnya dengan perundungan ini.