Hidayat Nur Wahid menambahkan, pembagian kewenangan pencatatan nikah telah ada sejak lama sejak diberlakukannya UU No 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, serta UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
UU tersebut menetapkan prosedur dan kewenangan terkait pencatatan perkawinan, talak, dan rujuk di Indonesia.
Rencana Yaqut tersebut jelas ditolak dan tidak disetujui oleh Hidayat Nur Wahid.
Ia tolak usulan itu karena tidak mau terjadinya Disharmoni atau ketidakselarasan antar beragama.
Hidayat menyoroti bahwa KUA tidak hanya merupakan perpanjangan dari peradilan agama Islam tetapi juga merupakan bagian dari Ditjen Bimas Islam, yang bertanggung jawab terhadap urusan umat Islam saja.
Wakil Ketua MPR itu juga menyatakan bahwa usulan dari Menag dapat memberatkan KUA yang sebagian besar mengalami kekurangan sumber daya manusia (SDM) dan tidak memiliki kantor sendiri, jadi tidak bisa asal mau menjadikan KUA tempat nikah semua agama.
Usulan Menag tersebut bisa menimbulkan beban psikologis dan ideologis bagi non-Muslim karena KUA (Kantor Urusan Agama) memang diidentifikasi dengan urusan agama Islam.
Adanya kekhawatiran bahwa penunjukan KUA sebagai tempat pendaftaran nikah secara eksklusif untuk semua agama dapat mengesampingkan atau merasa tidak terwakili bagi non-Muslim.
Itu bisa menciptakan perasaan tidak inklusif dan meningkatkan ketegangan antar agama.
Hidayat dan Fraksi PKS menekankan pentingnya Menag untuk memprioritaskan peran Bimas Islam, terutama KUA.
Karena masih banyak masalah yang perlu diselesaikan seperti kekurangan penghulu, kepemilikan kantor, serta revitalisasi bangunan dan layanan.
Pihak Hidayat Nur Wahid juga Mendesak Menag untuk memaksimalkan peran dan fungsi penyuluh keagamaan, termasuk dalam konsultasi pra nikah.
Ini langkah yang penting untuk memberikan bimbingan dan dukungan kepada calon pasangan sebelum mereka menikah.