Misalnya, ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam membangun Masjid Quba, beliau membeli tanah dari Bani Najjar dengan harga yang adil, meskipun Bani Najjar bersedia mewakafkannya tanpa imbalan.
Ini menunjukkan bahwa pengelolaan dana dan aset dalam pembangunan infrastruktur pada masa itu dilakukan dengan cara yang sesuai dengan syariat, tanpa melibatkan utang yang membebani negara di masa depan.
Namun, Ustadz Dzulqarnain juga menekankan bahwa dalam situasi tertentu, ketika pendapatan negara tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan mendesak.
Hukum Islam tidak sepenuhnya melarang penggunaan utang, asalkan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan tidak mengandung unsur riba.
“Ada hal-hal yang memang kalau dibahas dari sudut syariat itu memungkinkan sekali bagaimana kita mengatur dari sektor tersebut... Bagaimana kita bangun aset-aset negara tanpa modal,” ujar Ustadz Dzulqarnain.
Ia menegaskan bahwa meskipun utang bukanlah metode utama, ada cara-cara lain dalam Islam untuk mengelola keuangan negara.
Tantangan utama yang dihadapi pemerintah saat ini adalah bagaimana membangun infrastruktur yang dibutuhkan tanpa harus mengandalkan utang yang membebani generasi mendatang.
Dalam Islam, pengelolaan keuangan negara harus dilakukan dengan bijaksana, mempertimbangkan dampak jangka panjang, dan berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah yang mengutamakan keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Dengan demikian, pembangunan infrastruktur seperti yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo di Lampung merupakan upaya yang penting untuk kemajuan bangsa.
Namun, perlu juga diperhatikan bagaimana pembiayaannya agar sejalan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Islam.
Pendekatan yang bijaksana dan sesuai syariat akan memastikan bahwa pembangunan tersebut tidak hanya memberikan manfaat jangka pendek tetapi juga berdampak positif bagi generasi yang akan datang. ***