Lebih lanjut lagi, Nani Afrida, ketua umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menyampaikan penolakan AJI terhadap draf RUU Penyiaran.
Aliansi Jurnalis Independen berpendapat jurnalisme investigatif merupakan strata tertinggi dari karya jurnalistik sehingga jika dilarang, maka akan menghilangkan kualitas jurnalistik.
Menurut Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, bila draf RUU Penyiaran itu nanti diberlakukan, maka tidak akan ada independensi pers, Pers pun menjadi tidak profesional.
Dia juga mengkritik penyusunan Rancangan Undang Undang tersebut yang tidak sejak awal melibatkan Dewan Pers dalam proses pembuatannya.
Ninik menambahkan, dalam ketentuan proses penyusunan UU harus ada partisipasi penuh makna (meaningful participation) dari seluruh pemangku kepentingan.
Hal ini tidak terjadi dalam penyusunan draf RUU Penyiaran.
Sebenarnya apa yang menyebabkan para dewan pers menolak Draf RUU Penyiaran tersebut?
Draf RUU tersebut, salah satu poin yang tercantum ialah pelarangan terhadap penayangan jurnalisme investigasi.
Larangan penayangan jurnalisme investigasi di draf RUU Penyiaran, ujar Ninik, juga bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan, bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
Jelas tertera dalam pasal 15 ayat (2) huruf a, bahwa fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, akan tetapi jika draf RUU Penyiaran diberlakukan, akan berdampak berupa membungkam kemerdekaan pers.
Hal lain yang disoroti Ninik adalah penyelesaian sengketa pers di platform penyiaran.
“Sesuai UU Pers, itu menjadi kewenangan Dewan Pers. KPI tidak punya wewenang menyelesaikan sengketa pers,” ungkapnya.
Sedangkan anggota Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengutarakan upaya menggembosi kemerdekaan pers sudah lima kali dilakukan oleh pemerintah maupun legislatif.