Agama membahas pertanyaan-pertanyaan mendalam seperti "Mengapa kita ada?", "Apa tujuan hidup manusia?", dan "Apa yang terjadi setelah kematian?". Hal-hal yang berada di luar jangkauan sains.
Menurut Ustadz Felix, agama dan sains sebenarnya tidak bertentangan.
Agama menjawab pertanyaan tentang "why" (mengapa) dan "for what" (untuk apa).
Sedangkan sains berfokus pada "how" (bagaimana) dan "what" (apa).
Baca Juga: Tafsir Surat Ath Thur Ayat 48, Meneladani Sikap Nabi Muhammad SAW Ketika Merasa Kecewa Akan Sesuatu
Namun, banyak orang ateis yang hanya berpegang pada sains dan mengabaikan aspek-aspek yang lebih dalam dan filosofis.
Lebih lanjut menurut Ustadz Felix, ciri khas ateis adalah mereka tidak membahas pertanyaan mendasar tentang penciptaan.
Mereka menolak gagasan adanya Tuhan atau Pencipta, dan cenderung percaya bahwa segala sesuatu tercipta dengan sendirinya, tanpa adanya kekuatan atau entitas yang lebih besar yang mengatur alam semesta.
Efek dari pandangan ini, ateis seringkali merasa bahwa pusat kehidupan manusia adalah manusia itu sendiri.
Seorang ateis menolak untuk diatur oleh entitas selain diri mereka sendiri.
Mereka memandang diri mereka sebagai penguasa atas kehidupan dan tidak merasa perlu untuk tunduk pada aturan atau ketetapan yang berasal dari luar diri mereka.
Karena ateis mengabaikan adanya Tuhan, mereka cenderung memandang bahwa manusia adalah pusat dari segala sesuatu.
Padahal, bagi umat beragama, khususnya muslim, kehidupan manusia tidak hanya berpusat pada diri sendiri.
Manusia hidup di bawah aturan dan bimbingan Allah, Sang Pencipta, yang menetapkan aturan-aturan untuk kebaikan dan kebahagiaan umat manusia.
Manusia bukanlah penguasa tertinggi dalam kehidupannya, melainkan hamba yang tunduk kepada kehendak Allah.***