Makna kelapangan bagi setiap kesulitan dan kesedihan yang dijanjikan oleh Allah melalui istighfar tidak hanya berupa materi.
Kelapangan ini juga mencakup ketenangan jiwa dan keberkahan dalam setiap urusan, salah satunya adalah memiliki sifat qana’ah.
Para Salafush Shalih selalu mengajarkan bahwa kebahagiaan hakiki bukanlah sekadar terbebas dari kesulitan fisik atau materi, melainkan kedekatan dengan Allah, yang diperoleh melalui taubat dan istighfar yang terus menerus.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Anfal ayat 33:
وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Artinya: Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun.
Ini menunjukkan bahwa istighfar adalah benteng bagi seorang muslim dari berbagai bentuk kesempitan hidup, termasuk azab dunia dan akhirat yang pedih.
Selain itu, janji Allah untuk memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka bagi orang yang beristighfar juga menjadi salah satu keistimewaan amalan ini.
Rezeki tidak selalu diartikan sebagai kekayaan materi, tetapi juga termasuk kesehatan, ilmu yang bermanfaat, dan keberkahan dalam hidup.
Sufyan ats-Tsauri dan Abdullah bin Mubarak memahami bahwa siapa pun yang rajin beristighfar akan melihat bagaimana Allah melimpahkan rezeki dalam berbagai bentuk, yang mungkin tidak selalu terduga oleh manusia.
Pendapat mereka yang dikutip GENMUSLIM dari kitab Hilyatul Aulia pada Senin, 30 September 2024, sejalan dengan firman Allah dalam surah At-Thalaq ayat 3:
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Artinya: Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.