GENMUSLIM.id- Gerak sejarah falsafah Islam memang sangat menarik untuk dikupas, sebab pada bebarapa konsep pemikiran filosofis mereka sangat relevan ketika dihadapkan modernitas peradaban Barat yang kosong unsur-unsur rohani atau spiritualistas, oleh sebab itu konsep manusia menurut Ibnu Thufail sangat relevan untuk dikaji.
Ibnu Thufail sendiri sosok cendekiawan Islam yang sangat multitalenta dan menekuni berbagami macam bidang keilmuan, baik falsafah atau filsafat, matematika, kedokteran, sastra, maupun hukum Islam (sebab pernah menjadi qadhi pada masa Khalifah Abu Yaqub Yusuf).
Adapun yang dikaji mengenai sosok cendekiawan Islam Ibnu Thufail pada artikel kali ini ialah mengenai falsafah atau gagasannya yang besar tentang manusia.
Selama ini, setidaknya pada dunia yang pernah dikuasai oleh wacana modernitas, manusia dikonsepsikan sebagai pusat alam semesta, artinya segala apa yang ada di dalam alam semesta ini, semata-mata untuk memnuhi hasrat dan nafsu manusia.
Baca Juga: Sejarah Falsafah Islam, Biografi Sekilas Mengenai Filsuf Muslim Ibnu Rusyd dan Karya-karya Besarnya
Dari situ timbul pemikiran bahwa manusia sebagai salah satu makhluk hidup yang hidupnya dipenuhi untuk memuaskan hasrat bilogis, yang jika ditinjau dari sudut pandang Islam memang beberapa poin benar, selama hasrat biologis itu tidak keluar dari aturan-aturan Islam.
Tetapi jika hasrat bilogis itu keluar dari aturan Islam, atau dilakukan secara bebas, maka apa bedanya dengan binatang?
Oleh sebab itu, perlu adanya rumusan-rumusan yang mencerahkan, agar manusia yang mempunyai akal pikiran ini berbeda dengan kawanan binatang dan menjadi insan paripurna di mata Allah SWT.
Di dalam buku yang berjudul Pengantar Filsafat Islam, Ahmad Hanafi mengatakan, menurut Ibnu Thufail, manusia adalah makhluk tertinggi yang terdiri atas dua unsur, di antaranya badan dan jiwa.
Jiwa manusia ini menurut Ibnu Thufail perlu diperhatikan oleh umat Islam, sebab kesehatan jiwa ini tidak kalah pentingnya dengan kesehatan badan.
Menurut Ibnu Thufail, jiwa terdiri atas tiga hal (keadaan), di antaranya:
Jiwa yang telah mengenal tuhannya sebelum mengalami kematian dan selalu ingat serta mengerahkan pikirannya kepada kebesaran dan keagungan-Nya, keadaan jiwa yang demikian akan kekal dalam kebahagiaan dan kenikmatan (jiwa fadhila).
Jiwa yang kedua ialah, jiwa manusia yang telah mengenal tuhannya, tetapi masih sering melupakan perintah-Nya dan tenggelam pada nafus syaitan atau terccebur dalam jurang kemaksiatan.