"Kamu sebaiknya pergi dari sini. D—dia...."
Ucapannya terputus saat mendengar sebuah teriakan marah dari arah dapur. Dengan susah payah, Kinaya segera bangkit dan menarikku keluar dari rumahnya.
Napasnya tersengal-sengal setelah berlari cukup jauh. Ia memandangku dengan ekspresi marah.
"Kenapa kamu datang ke rumahku, Diara? Bagaimana jika dia menemukanmu setelah apa yang dilakukannya padaku dan ibuku? Bagaimana jika—"
"Maaf, Kinaya. Aku khawatir akan keadaanmu. Kau selalu menjauhiku di sekolah. Aku sahabatmu, Kinaya. Kalau kamu memiliki masalah jangan pendam sendirian."
Gadis itu memalingkan wajahnya, berusaha menghindari tatapanku. Setitik kristal bening mulai mengalir dari pelupuk matanya.
"Ayahku ... tidak, orang itu berusaha melukaiku dan ibuku. Hari ini, ibuku pergi karena sikapnya yang sudah sangat keterlaluan. Dia melampiaskan semua amarahnya padaku. Bukankah keluargaku sangat berantakan, Diara? Apakah kau tak malu berteman dengan orang dari keluarga yang berantakan sepertiku?"
Aku segera memeluknya, dan mencoba menenangkannya. Ia menangis kencang, mengeluarkan semua emosi yang telah ia pendam selama ini.
"Seorang sahabat tak akan pernah meninggalkan temannya dalam keadaan apapun. Ia akan selalu ada di sisi temannya. Dan aku tak akan pernah meninggalkanmu sendirian, Kinaya."
Kinaya menatapku dengan wajah sembab. Ia tersenyum kecil.
"Terima kasih, Diara. Dan maaf aku telah membentakmu tadi. Aku tidak mau kamu melihat kekuranganku ini. Karena dulu saat SMP aku dijauhi dan di-bully karena masalah ini."
"Tidak perlu berterimakasih, Kinaya. Sudah seharusnya aku membantumu saat masa sulit," ujarku.
"Sebaiknya, kamu menginap dulu di rumahku dan mengobati lukamu hingga keadaan sedikit kondusif. Aku akan mencoba berdiskusi dengan orang tuaku tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya."