Tiba di rumah sang saudagar, Fudail bergerak cepat, memanjat pagar, dan melompati tembok untuk masuk melalui balkon lantai dua.
Ia bahkan harus berhadapan dengan penjaga rumah yang dilumpuhkannya tanpa ampun.
Namun, ketika hendak memasuki rumah, telinganya menangkap suara merdu yang tak asing, lantunan ayat-ayat Alquran.
Entah mengapa, kali ini Fudail merasa tergetar. Suara itu seakan menembus hatinya yang selama ini beku. Ia tertegun, seolah diberi tanda untuk berhenti.
Dalam kesunyian malam, Fudail merenung. Di tengah perjalanan pulang, ia beristirahat di reruntuhan bangunan sambil menangis penuh penyesalan.
Ia bertanya-tanya apakah Tuhan akan menerima taubat seorang pencuri seperti dirinya. Sejak malam itu, cerpen perjalanan Fudail menuju kebaikan dimulai.
Ia meninggalkan kehidupan gelapnya dan pergi ke Kufah untuk belajar agama dari para ulama besar.
Dalam waktu singkat, Fudail yang dulunya dikenal sebagai pencuri kini menjadi salah satu ulama besar, ahli dalam ilmu hadis.
Cerpen ini mengajarkan kita bahwa harapan selalu ada, bahkan bagi mereka yang terjerumus ke jalan yang kelam. Ketika keinsafan hadir, tak ada kata terlambat untuk kembali ke jalan yang benar.***
