Cerpen Ayah: Secangkir Kopi, Kenangan Sederhana Biasanya Lebih Bermakna

Photo Author
- Rabu, 2 Agustus 2023 | 07:15 WIB
Teh yang diletakkan besama gelas di antara dua garis ((Foto: GENMUSLIM.id/dok: Mukul Wadhwa/Unplash.com))
Teh yang diletakkan besama gelas di antara dua garis ((Foto: GENMUSLIM.id/dok: Mukul Wadhwa/Unplash.com))
GENMUSLIM.id - Kursi bambu menempati sudut teras rumah dengan redup cahaya lampu membuat bayangan pepohonan sekitar menemani fajar. 
 
Bisik embun menuai basah dalam bilik-bilik daun, kepulan asap dari air mendidih membuat jarak udara dengan kesegaran paginya.
 
“Kopinya pake gula sedikit aja ya yang….” ucap seorang di balik pintu selepas pulang dari masjid.
“Iya. Rame Ba masjidnya?”
“Ngak serame Jumatan tentunya”
“Minimal sekarang udah 10 orang kan ya?”
 
Percakapan terhenti karena seorang anak lima tahun berdiri dengan mungkenanya. 
 
 
Wajahnya tampak menahan tangis yang pecah ketika ditanyakan oleh Aba-nya ‘Kenapa?’.
 
“Yaya kesiangan sholat subuh, huwaaa….”
 
Tangis semakin menjadi hingga digendong Aba menuju teras menatap senja bersama secangkir kopi di tangan dan roti kering yang tersedia di atas meja bambu di sana.
 
“Ama nggak bangunin Yaya subuh Ba….”
“Yaya tidurnya jam berapa? Udah malem banget loh….”
“Tapi Ama sama Aba nggak bangunin”
“Aba bangunin sebelum pergi ke masjid, tapi Yaya gak bangun”
 
Mata mereka bertemu dan seolah berdiskusi dengan batin, membuat ekspresi cemberut Yaya berganti cenggir kudanya yang hendak mengatakan sesuatu.
 
“Lain kali Yaya gak tidur lama lagi deh Ba, nanti Aba bangunin lagi ya”
 
 
“Ama gak boleh bangunin ni?” ucap seorang yang tiba-tiba datang dari belakang.
 
“Bangunin juga, masak cuma Yaya yang nggak sholat. Nanti gak dapet tanah di surga” seketika semua terkekeh mendengar kalimat yang dikutip dari nasihat sang Aba saat mengajaknya shalat bersama. 
 
Senyum merekah dari keduanya sembari sang anak masih di pelukan sang Aba.  
 
Hangat kopi merasuki hidung dengan spontan, harum merebak hingga ke kepala. 
 
Hitam yang tergambar terasa tetap terang di pandangan dengan tawa yang beriringan, pahitnya seolah tak terasa, hilang besama terbitnya mentari. 
 
 
Burung berkicauan terbang ke sana ke mari. Dua orang insan itu asik memakan kue kering yang dicelupkan di kopi atau sesekali menaruh kopi panas di piring supaya cepat dingin hingga dapat diseruput. 
 
Hal ini biasa dilakukan karena ingin mengejar jarum yang terus berputar detik demi detik.
 
Mengantar dan menjemput selalu menjadi kebiasaan Aba untuk anak gadis sulungnya itu. 
 
Setiap pagi dan malam hari mengobrol 10 sampai dengan 15 menit, mulai dari obrolan kucing di taman depan rumah hingga teman yang tidak bisa buang air sendiri. 
 
Setiap mengantar ke sekolah taman kanak-kanak Yaya, selalu disapa ramah olah Bude. 
 
Seorang penjual jajan di sekolah yang ternyata tujuan menyapa untuk menagih hutang Yaya. Bujuk rayu Bude dapat membuat Yaya yang meski sudah habis uangnya tetap memilih belanja dengan mengutang.
 
 Tentunya hal ini tidak diketahui oleh Ama-nya dan tidak juga diberitahu oleh Aba kepada Ama. Rahasia.
 
Sering juga selepas pulang ketika dijemput, Bude menagih kepada Aba. Begitu terus siklusnya hingga berpindah ke Sekolah Dasar, tidak ada yang mau untuk mengutangkan jajan lagi. 
 
Terlebih dipahamkan bahwa sudah memiliki adik yang harus membuatnya mengalah kepada adik termasuk soal uang jajan.
 
“Adik terus, Yaya-nya kapan?”
“Kakak, kok gitu bilangnya. Kan adek mau nenen, kalo gak sama Ama, masak ditempel ke sapi?”
 
Dari kejauhan seorang datang dengan wajah lelah menghampiri Yaya dan menggendongnya cepat ke atas bahu. Yaya menjerit kecil dan tertawa. 
 
Dibawa ke dapur membuat secangkir kopi untuk melihat senja di teras depan, ditemani roti kering berlapis gula dengan bentuk persegi. 
 
Celup dan sedikit lembut membuat rasa manis bersatu dengan khas kopi. Yaya menyukai hal itu. Pagi, siang, sore, bahkan malam apabila seusai makan malam.
 
Beranjak waktu berjalan beriringan, Aba memilih memutuskan rokok yang jadi candunya, membuat intensitas kopi juga berkurang. 
 
Hanya pagi dan malam saja. Yaya hanya dapat gelas gelap itu di pagi hari. Tentunya dia tidak terlalu memikirkannya dan mencarinya. 
Aba-nya pun mulai terbiasa dan terhitung 10 tahun tanpa rokok dan minum kopi. Kopi hanya ketika malam hari. 
 
Yaya lagi-lagi tidak mencari keberadaan kopinya, terlebih dunia abu telah merebutnya. Bersama teman-teman dirasa lebih menggembirakan, obrolan antar Aba dan anak hanya sekali lewat ketika makan dan sarapan pagi. 
 
Lelah mengejar masa menjadi momok tersendiri bagi Yaya. Alam mulai tak berpihak pada kebersamaan ini, rantau menjadi pilihan tanpa jalan pulang. 
 
Kesibukan-kesibukan menjadi antrean panjang yang maengisi waktu kuliah. Waktu berlari cepat, tinggal teh yang ada di meja. 
 
“Yaya sudah siap? Bunga sama airnya jangan lupa”
“sudah ma, ayo otw. Pasti Aba udah nungguin di sana…”
“Kamu si, pas mau lebaran baru pulang”
“Hihi…maaf maa. Dek tebak, kambojanya di sana udah mekar belum kira-kira?” ***
 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Muhammad Reza Nurcholis, S.Si

Sumber: Istimewa

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

Terpopuler

X