“Anak perempuan mungkin umur tiga tahun bisa loh diajarin satu tambah satu sama dengan dua atau sudah bisa ABC,” tuturnya.
“Bahkan sudah bisa menganalisa. Dia selalu milih baju, kalau bisa bajunya dari atas kepala sampai kaki itu sewarna,” sambungnya.
Sementara anak laki-laki otak kanannya berkembang terlebih dahulu, sehingga akan kesulitan jika harus belajar membaca dan berhitung di usia dini.
“Kalau masukkan sekolah anak laki-laki yang sekolahnya memaksa harus belajar membaca dari dini atau kemudian harus belajar itung-itungan dari dini nih. Kasihan nih anak laki,” kata dr Aisah Dahlan.
Apalagi, lanjutnya, kalau belajar hanya menggunakan buku tanpa alat peraga.
“Laki-laki bukan tidak bisa diajar membaca atau belajar berhitung, tapi harus pakai alat peraga. Karena apa? Karena otak kanannya berkembang duluan,” tegasnya.
Menurut hemat dr Aisah Dahlan, anak perempuan mampu belajar calistung di usia dini tanpa alat peraga sedangkan anak laki-laki tidak.
Karena itu, hal selanjutnya yang harus diperhatikan para orang tua adalah fasilitas sekolah yang akan dituju serta kualitas pengajar di dalamnya.
“Jadi kalau kita mau pilih sekolah kira-kira sekolahnya di dalam sekolahnya itu banyak ga alat peraga. Paling tidak ada satu dua gurunya ngerti gak perkembangan otak pria dan wanita,” kata dr Aisah Dahlan.
Ia juga menyebutkan hikmah di balik sudah seimbangnya otak anak perempuan sejak usia dini, yaitu karena Allah mempersiapkan mereka menjadi istri dan ibu.
Maka di sinilah alasan mengapa ada sekolah yang menetapkan batas minimal usia peserta didik tujuh tahun, untuk mengakomodasi anak laki-laki yang otaknya memang baru siap menerima pelajaran pada usia tersebut.
“Jadi kalau tujuh tahun, anak laki-laki baru masuk SD itu lebih aman, kalau perempuan enam tahun masuk SD itu mudah karena dia kiri kanannya udah jalan,” pungkasnya.
Dikutip dari laman Kemdikbud, secara umum batas usia minimal masuk SD adalah tujuh tahun dan boleh usia enam tahun pada tanggal 1 Juli tahun berjalan.