Baca Juga: Ramai Kasus KDRT dan Perceraian di Indonesia, Salim A Fillah: Ada 7 Pilar Kekokohan Rumah Tangga
Akibat perbuatannya, AP dijerat dengan Pasal 44 UU Nomor 23 Tahun 2024 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
KOMNAS Perempuan Turut Angkat Bicara
Dengan maraknya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami sejumlah perempuan Indonesia akhir-akhir ini, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) turut angkat bicara.
Menurut Komnas Perempuan, kasus KDRT yang menimpa Anastasia Noor Widiastuti dan perempuan-perempuan lainnya memberi hal yang menakutkan tentang sebuah kekerasan berbasis gender yang terjadi di ranah personal.
“Kekerasan (KDRT) ini banyak terjadi dalam hubungan relasi personal, pelakunya adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban,” tulis Komnas Perempuan dalam pernyataan di laman resminya pada tahun 2020 lalu.
Lebih jauh lagi, Komnas Perempuan menyoroti potensi KDRT dapat dilakukan oleh suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, hingga kakek terhadap cucunya.
Kekerasan ini juga muncul dalam hubungan pacaran, atau juga dapat dialami oleh orang yang menetap dalam rumah sebagai asisten rumah tangga.
Selain itu, KDRT juga dimaknai sebagai kekerasan terhadap perempuan oleh anggota keluarga yang memiliki hubungan darah.
Baca Juga: Jangan Diam, KDRT Bukanlah Bentuk Sayang! Lakukanlah Hal Ini Jika Kamu Menjadi Korban Kekerasan
Dampak KDRT terhadap Anak
Anak dalam 'satu entitas' yang paling rentan mengalami KDRT dalam keluarga.
Pasalnya, terdapat kemungkinan suami yang menganiaya istri juga dapat pula menganiaya anaknya.
Di sisi lain, istri yang mengalami penganiayaan dari suaminya, dapat mengarahkan kemarahan dan frustasi kepada anaknya.
Selain itu, meski tidak ada upaya kekerasan terhadap anak, mereka dapat mengalami cedera serius ketika dirinya mencoba menghentikan kekerasan dalam keluarganya.