Selain itu, Abdul Aziz menjelaskan bahwa jemaah dengan visa non-haji juga belum tentu bisa lolos untuk melaksanakan ibadah wukuf Arafah saat puncak haji karena Pemerintah Arab Saudi memperketat aturan saat puncak haji.
Konsul Jenderal Republik Indonesia Yusron B. Ambary menambahkan, ada proses penahanan yang harus dijalani sebelum jemaah calon haji non-kuota yang tertangkap dideportasi.
Prosesnya bisa cepat atau lambat, tergantung penanganan pertama.
Di masa-masa haji, prosesnya membutuhkan waktu agak panjang sehingga biasanya proses deportasi dilakukan saat musim haji selesai.
"Belum tentu proses itu bisa ditangani secara cepat. Saya tidak bisa melihat itu karena setiap orang, setiap jemaah berbeda-beda, biasanya berbeda-beda kasusnya," sambung Yusron.
Dia mengimbau masyarakat terbiasa mematuhi aturan sehingga mereka yang datang tanpa visa haji sebaiknya pulang.
Sebelumnya, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Hilman Latief menegaskan bahwa hanya visa haji yang bisa digunakan dalam penyelenggaraan ibadah Haji 2024.
Masyarakat diimbau untuk tidak sampai tergiur dan tertipu oleh tawaran berhaji dengan visa ummal (pekerja), ziarah (turis), atau lainnya.
Bahkan ada yang menawarkan dengan sebutan visa petugas haji.
Penegasan ini disampaikan Hilman Latief menyusul banyaknya info yang menawarkan Haji 2024 tanpa antre dengan berbagai jenis visa di media sosial seperti Facebook, Instagram, hingga pesan berantai di berbagai grup WhatsApp.
“Setelah berdialog dengan Kementerian Haji dan dan Umrah dan berbagai pihak, kami menegaskan lagi bahwa untuk keberangkatan haji harus menggunakan visa haji,” tegas Hilman di Jeddah.
“Saudi sudah menyampaikan kepada kami terkait potensi penyalahgunaan penggunaan visa non haji pada Haji 2024, itu betul-betul akan dilaksanakan secara ketat dan akan ada pemeriksaan yang intensif dari otoritas Saudi,” sambungnya.
Visa Haji 2024 diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU).