Penggantian identitas dan penghapusan jejak digital membuat upaya pelacakan menjadi sangat sulit.
Hal ini menjadi tantangan besar bagi pihak berwajib, terutama ketika pelaku melakukan penghilangan diri saat keluarga mereka tidur.
Dampak dari fenomena ini tidak hanya dirasakan oleh individu yang menghilang tetapi juga oleh keluarga dan masyarakat sekitar.
Pemerintah Jepang berusaha untuk mengatasi masalah ini melalui kampanye dan iklan, namun fenomena jouhatsu tetap menjadi isu yang kompleks dan sulit diatasi.
Fenomena ini mencerminkan tantangan sosial dan emosional yang dihadapi banyak orang di Jepang, menunjukkan kebutuhan mendalam untuk melarikan diri dari tekanan sosial.
Dikutip GENMUSLIM dari Instagram @pikology, Jumat, 13 September 2024,
Salah satu contoh dari fenomena ini adalah Sugitomo, seorang yang memutuskan untuk menghilang dari kampung halamannya.
Sugitomo merasa tertekan oleh hubungan sosial dan tuntutan untuk meneruskan bisnis keluarga, sehingga ia memilih untuk melarikan diri tanpa memberi tahu siapa pun.
Keputusan ini mencerminkan betapa beratnya beban yang dirasakannya akibat ekspektasi Masyarakat.
Sugitomo hanya membawa koper kecil saat meninggalkan rumahnya, menandakan betapa ekstremnya keputusan tersebut dalam upayanya mencari kebebasan.
Dalam wawancaranya, ia menekankan betapa sulitnya menghadapi pandangan masyarakat yang memberatkan.
Fenomena jouhatsu ini menggambarkan bagaimana tekanan sosial dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk mengubah hidup secara drastis.
Perusahaan seperti Unigea menawarkan layanan "night moving" untuk membantu individu melakukan jouhatsu secara diam-diam.
Layanan ini memberikan kesempatan untuk memulai kehidupan baru tanpa jejak, mencerminkan cara ekstrem yang dipilih beberapa orang untuk menghindari tekanan sosial dan mencari identitas baru.