GENMUSLIM.id - "Diara, kamu sudah mencatat catatan ekonomi pak guru kemarin?" tanya Kinaya, sedetik setelah ia meletakkan tas di atas kursi.
Aku mengangguk seraya mengeluarkan buku catatan dari dalam tas. Ia juga langsung mengeluarkan bukunya, dan menyalin catatan dari bukuku.
"Kamu belum mencatatnya sama sekali?" tanyaku sedikit terkejut saat melihatnya dengan serius menyalin catatanku.
Ia tertawa kecil seraya menggelengkan kepalanya.
Baca Juga: Cerpen Singkat Tentang Ibu: Melukis Senyuman Ibu Cara Aksara Mengobati Rasa Rindu dan Kehilangan
"Belum, kemarin aku ketiduran setelah membantu ibuku bekerja. Dan aku baru ingat hari ini ada catatan yang harus dikumpulkan."
Aku hanya mengangguk saja. Aku tahu betul akan keadaan keluarganya. Selain kewajibannya untuk belajar di sekolah, ia juga harus membantu orang tuanya mencari pundi-pundi rupiah untuk menyambung hidup.
"Terima kasih, Diara." Aku tersentak dari lamunanku saat mendengar sebuah suara di depanku. Ia menyerahkan buku catatanku, seraya tersenyum manis. Namun, aku menyadari bahwa senyumnya sedikit berbeda dari biasanya. Pandangannya juga tak fokus, seakan ia tengah memikirkan sesuatu.
"Ada apa?"
Ia sedikit tersentak mendengar pertanyaanku.
"Tidak apa-apa. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu."
Baca Juga: Cerpen Inspiratif: Ibu Sosok Tangguh, Pahlawan Kesayangan Lintang Hari Ini, Besok dan Selamanya
"Kinaya, bukankah kita sahabat? Aku tahu kamu sedang ada masalah. Sikapmu sedikit berbeda hari ini, bukan seperti Kinaya yang aku kenal."
Sahabatku itu—Kinaya, hanya tersenyum tipis. Ia menggelengkan kepalanya perlahan.