Menghadirkan Allah dalam keseharian nyata sang anak jauh lebih efektif, daripada terus-terusan menjejalkan konten agama yang terkadang membuat mereka bingung karena masih kurang paham di usianya saat ini.
3. Bukan Tentang Jago Hafalan
Contoh: "Ayo hafalin lagi Qur'annya biar cepat hafidz, temen kamu udah pada hafal 3 juz loh! Kamu 1 juz juga belum."
Ganti kalimat tersebut dengan, "kalau kamu mau minta apa-apa, minta semua sama Allah, kalau sedih, takut, kesel berdoa sama Allah minta tenangin ya Allah. Kalau senang juga sama, bersyukur Alhamdulillah makasih ya Allah."
Bukan tentang seberapa banyak dan seberapa jago hafalannya tapi tentang menanamkan value Al-Qur'an.
Yang paling penting, orang tua harus berikan contoh teladan kepada anak.
Anak jika banyak dinasihatin bisa salah dengar, tapi mereka tidak akan salah dalam meniru.
Kesalahan orang tua adalah diantaranya ingin anak cepat-cepat shalih/shalihah. Kalau bisa saat anak lahir itu bukan ayahnya yang adzan, tapi bayinya yang adzan sendiri.
Alhasil, sejak dini anak digegas dan dijejal dengan penuh konten agama tanpa mengutamakan ajaran nilai Al-Qur'an.
Tidak ada target untuk anak usia di bawah 7 tahun harus segera memenuhi checklist sholat, puasa, atau ibadah lain.
Jundub bin Abdullah ra memaparkan: "Dahulu saat kami masih anak-anak bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kami belajar iman sebelum belajar al-Qur'an. Setelah itu kami baru belajar al-Qur'an. Sehingga iman kami pun semakin bertambah kuat." (HR. Ibn Majah dan dinilai sahih oleh al-Albaniy)
Ibn Umar ra menuturkan: "Kami mengalami masa di mana kami belajar iman sebelum belajar al-Qur'an.
Saat diturunkan surat al-Qur'an kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kami mempelajari hukum halal dan haram yang terkandung di dalamnya. Juga perintah dan larangannya.