Cegah Kasus Bullying pada Anak Sejak Dini dengan Menerapkan Parenting ini Sejak Usia Toddler!

Photo Author
- Senin, 20 November 2023 | 09:20 WIB
Ilustrasi parenting anak usia toddler dan anak yang mengalami bullying ((Foto: GENMUSLIM.id/dok: Canva/Devy Kumalasari))
Ilustrasi parenting anak usia toddler dan anak yang mengalami bullying ((Foto: GENMUSLIM.id/dok: Canva/Devy Kumalasari))
GENMUSLIM.id Bullying yang terjadi di lingkungan anak kini sudah melebihi ambang batas toleransi, disamping itu kita justru lebih menyalahkan parenting dari orangtua pelaku.
 
Padahal korban bullying juga sangat mungkin punya masalah parenting dimasa toddler mereka.
 
Dalam ilmu parenting, toddler merupakan momen perkembangan anak pada usia 1-3 tahun, tak ada salahnya mengajarkan bullying sejak usia ini.
 
Momen ini juga menjadi awal mula anak belajar cara mengelola emosi dan pertahanan diri yang dapat berguna ketika mereka mengalami bullying.
 
 
Kasus bullying kebanyakan terjadi saat anak mulai memulai bersosial dengan lingkungan yang lebih luas, yakni usia diatas 3 tahun
 
Usia toddler menjadi pokok pertama dalam ilmu parenting untuk menanamkan pada anak cara menyeimbangkan kemauan dan nilai.
 
Ketika anak masuk usia toddler, segalanya akan berkembang dengan pesat.
 
Anak akan lebih aktif bergerak tak terkontrol (fase uncontrol mobility dan active balace mode), seperti berjalan, berlari, melompat.
 
 
Mereka sedang dalam tahapan ingin mengeksplorasi apa yang bisa ia lakukan, tapi belum memahami sebab dan akibat yang mungkin terjadi.
 
Sehingga emosi anak juga tidal terkontrol, sering tantrum, meminta apa yang ia mau.
 
Tapi sayangnya anak mungkin belajar ternyata punya segala kemauan juga membuatnya merasa tidak nyaman apabila tidak segera didapatkan. 
 
Penelitian mengenai sosialisasi emosi sampai saat ini sebagian besar berfokus pada tanggapan orang tua terhadap emosi negatif anak.
 
 
Sehingga tidak jelas, apakah perbedaan perilaku sosialisasi emosi orangtua bisa berpengaruh terhadap ekspresi emosi positif dan negatif anak. 
 
Orangtua kadang terlalu terburu-buru menanggapi emosi anak, padahal segala emosi anak yang tersalurkan dengan baik adalah emosi yang dapat diungkapkan dan merasa diterima oleh orangtuanya.
 
Melatih anak mengelola emosinya tidak selalu harus dipenuhi segala keinginannya.
 
Karena menolak emosi anak tidak hanya berupa memberi hukuman, akan tetapi mengganggu, mengabaikan, dan mengesampingkan emosi anak-anak juga termasuk menolak emosi anak. 
 
 
Pola asuh orangtua yang selalu 'menolak emosi' anak seperti ini menyebabkan tingkat regulasi emosi yang lebih rendah. 
 
Studi oleh Frogley dkk. dalam jurnal ilmiah Mental Health & Prevention menunjukkan bahwa anak-anak dari orang tua yang memiliki pola penolakan emosi atau sosialisasi yang tidak melibatkan emosi berisiko lebih besar mengalami masalah kesehatan mental dan kemampuan mengelola emosi yang lebih rendah.
 
Masalah sosial toddler targetnya hanya menjaga agar anak tidak memukul teman, agar tidak takut bersosial dengan teman, atau mengajari agar anak berani dengan banyak orang.
 
 
Akan tetapi, bagaimana cara agar kita sebagai orangtua mampu bersosialisasi dengan anak secara mantap.
 
Orang dewasa kadang suka sekali dengan anak-anak yang ketika diberi instruksi dari orang dewasa atau teman mudah sekali menurut, sebaliknya, orang dewasa menganggap anak yang tidak mudah mengikuti instruksi sebagai anak yang bodoh.
 
Padahal saat itu anak berpikir "Aku gak mau disuruh teman begitu, karena tidak nyaman bagiku dan aku juga tidak boleh berperilaku seperti itu sama ibuku, maka aku juga tetap tidak mau meski disuruh."
 
Disini anak telah memiliki defence mechanism ego atau pertahanan diri.
 
 
Anak yang dapat memperjuangkan kemauannya sembari belajar sebab akibat dengan cara membiasakan diri dengan nilai yang diajarkan orangtuanya.
 
Anak yang telah membangun defence mechanism ego atau pola pertahanan diri akan terhindar dari masalah bullying.
 
Mereka bisa menolak ketika disuruh atau melawan ketika disentuh.
 
Sebaliknya, anak-anak yang masa toddler mereka tidak terlihat tanda-tanda adanya pergolakan emosi, keaktifan bergerak, dan sosialisasi yang lemah, biasanya mereka akan berpotensi mengalami masalah bullying.
 
 
Tips mengajarkan anak mengelola emosi:
 
Pertama, jangan ragu untuk tetap konsisten pada aturan yang anda buat.
 
Kedua, mengajarkan untuk mengenal mana haknya dan cara menyikapi yang bukan haknya (seperti cara merawatnya dan meminta ijin).
 
Ketiga, mengajarkan anak untuk menghadapi konflik dan mengatasinya.
 
Keempat, biarkan anak mengekspresikan emosinya dengan menerima apa yang anak rasakan.
 
Kelima, biasakan dan ajak anak berkegiatan positif.***
 
Sobat Genmuslim yang baik hatinya, ingin mendapat berita update setiap hari dari Genmuslim.id? Ayo gabung di Grup WhatsApp "GENMUSLIM MENYAPA", caranya klik link https://chat.whatsapp.com/Gj3J3Md9EoGBu8HvPgXXEZ, atau bisa gabung di Grup Telegram "GENMUSLIM NEWS", caranya klik link https://t.me/genmuslimnews kemudian join. Jangan Lupa install aplikasi WhatsApp atau Telegram di Ponsel.
 

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Zaiyana Nur Ashfiya

Sumber: Jurnal Mental Health & Prevention

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X