Tersangka mengajak korban nikah tanpa sepengetahuan orang tua. Ia meyakinkan kepada korban dan selalu memohon kepada korban.
Dan ia menjamin korban kalau pernikahannya tidak akan terbongkar.
Menurut sang ayah, anaknya bisa luluh adalah karena iming-iming harta. Maksud sang ayah memasukkan anak ke dalam pesantren agar agama menjadi kuat, malah dinikahi oleh pengurus pondok yang sudah memiliki istri. Ini yang membuat sang ayah tidak terima.
Hal yang membuat geram adalah pernikahan siri ini tidak terdapat wali dari pihak perempuan. Ini yang mengakibatkan pernikahan ini tidak sah, karena tidak terdapat wali dari pihak perempuan.
Pernikahan tersebut dianggap tidak sah, jika terjadi hubungan suami istri jatuhnya adalah zina.
Sungguh ironis pengurus pondok pesantren yang mengetahui hukum agama, justru mengabaikan hal dasar ini demi memenuhi nafsunya semata.
Menurut pengakuan korban pernikahan terjadi hanya ada dirinya, tersangka dan dua orang saksi yang merupakan temannya, dan tidak terdapat penghulu yang menikahkannya.
Menurut tersangka pernikahan tanpa wali diperbolehkan dalam madzhab Hanafi, itu yang membuat korban menjadi yakin.
Setelah menikah korban ini pulang ke rumah dan tak berani untuk bercerita dengan orang tuanya.
Dan ketika korban tidak mau bertemu dengan tersangka diancam oleh tersangka ingin menikah lagi. Dan setiap bertemu dan berhubungan dilakukan di rumah temannya.
Hal ini yang membuat tersangka tak berani berkutik hingga 8 bulan lamanya baru akhirnya kabar pernikahan ini tercium. Lantaran korban dikabarkan hamil.
Sungguh ironis apa yang terjadi akhir-akhir ini banyak orang beragama justru memiliki kelakuan layaknya binatang, menggunakan dalil dan keilmuannya untuk memuaskan nafsu sendiri.
Mereka seharusnya menjadi penuntun malah justru kadang menyesatkan.***