Herman dan rekan-rekannya awalnya dikenai Pasal 120 UU Keimigrasian yang memiliki sanksi lima hingga 15 tahun penjara.
Namun, pada proses persidangan, JPU hanya menggunakan Pasal 114 yang hukumannya maksimal dua tahun penjara, dengan alasan saksi kunci pengungsi Rohingya melarikan diri sebelum sidang.
Menyikapi hal ini, Profesor Mohd Din dari Universitas Syiah Kuala menyoroti ketidaksesuaian prosedur dalam pembebasan bersyarat Herman yang belum memenuhi syarat minimal 2/3 masa hukuman.
Sementara itu, Ketua Yayasan Supremasi Keadilan Aceh (SaKA), Miswar, menyerukan perlunya penegakan hukum yang konsisten agar kasus ini tidak menimbulkan kerugian lebih besar bagi negara.
Miswar juga menyoroti bagaimana kehadiran pengungsi Rohingya telah menguras tenaga dan biaya masyarakat serta aparat dalam evakuasi dan pengelolaan pengungsi.
Dari perspektif hukum, kasus ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia dalam memperketat penegakan hukum terhadap penyelundupan manusia.
Sindikat perdagangan manusia yang memanfaatkan situasi pengungsi perlu dihentikan secara menyeluruh.
Untuk itu, koordinasi antara pihak kepolisian, kejaksaan, dan lembaga lainnya harus lebih kuat agar kasus serupa tidak berulang di masa depan, sekaligus memberikan perlindungan hukum yang adil bagi semua pihak yang terlibat. ***