Hal ini dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 188
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Artinya: “janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan jalan yagn batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim
dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagaian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui”.
kata بَيْنَكُمْ mengisyaratkan bahwa interaksi dalam perolehan harta terjadi antara dua pihak.
Diibaratkan harta berada di tengah-tengah, dan kedua pihak berada diposisi ujung dan saling berhadapan.
Keuntungan atau kerugian dari interaksi itu tidak boleh ditarik terlalu jauh oleh masing-masing pihak sehingga salah satu pihak merugi, sedang pihak yang lain mendapat keuntungan.
Al-Qur’an menegaskan segala sesuatu yang tidak baik dalam memperoleh rezeki itu dilarang Al-Qur’an juga tidak menolerir praktik-praktik ekonomi yang melanggar prinsip-prinsip Al-Qur’an.
Apa yang disebut pencucian uang sebagaimana disefinisikan di dalam undang-undang tindak pidana pencucian ung masuk dalam kaidah “tiap-tiap sesuatu yagn haram diambil maka juga haram diberikan”
Pemberian disini meliputi pemberian tanpa imbalan seperti hibah dan hadiah, sebagaimana meliputi pemberian dengan imbalan jual-beli dan tukar menukar.
Pencucian uang naik statusnya dari sekedar haram dan maksiat berubah menjadi jarimah (tindak pidana) apabila telah diancam dengan suatu hukuman.
Dengan demikian, konsep fikih tentang tindak pidana pencucian uang jelas merupakan sebuah keharaman, dan begitu mentasarrufkan uang teersebut.
Lantas bagaimana hukum pihak penerima uang dari hasil tindak pidana ?