GENMUSLIM.id - Konten edukasi anak seperti dalam kanal Youtube Kids Kinderflix memiliki potensi besar dalam membantu anak-anak yang mengalami speech delay lho! Tak heran kanal di Youtube Kids seperti Kinderflix kini menjadi alternatif para orangtua dalam memberikan edukasi anak, karena pada kenyataannya siaran di televisi tidak cukup memberikan tayangan untuk anak-anak.
Kinderflix yang kini populer berhasil mengumpulkan jutaan penonton dalam waktu singkat membuktikan bahwa konten edukasi anak yang disajikan dapat bermanfaat bagi orangtua dalam aktivtas mengasuh anak. Seperti, memperkenalkan nama-nama hewan, alat transportasi dan lain-lain yang disajikan dengan menyisipkan lagu-lagu anak dan tarian para kreator yang menghibur.
Tak kalah menarik, para kreator yang bekerja di depan maupun di balik layar juga memiliki latar belakang keilmuwan Psikologi. Sehingga tentunya mereka memiliki dasar edukasi yang mumpuni dalam menyajikan konten untuk ditonton anak-anak. Akan tetapi program YouTube Kids nyatanya tidak selalu sempurna. Beberapa konten di Youtube Kids kadang tidak memuat value yang baik untuk dicontoh atau bahkan konten anak-anak berupa kartun ini memiliki tempo adegan terlalu cepat.
Baca Juga: Viral! Media Pembelajaran Untuk Anak: Mengulik Lebih Jauh Sosok Kak Nisa Host Kinderflix
Hal ini dijelaskan oleh pakar anak usia dini Jerrica Sannes konten tersebut antara lain, Cocomelon, Peppa Pig, PJ Masks, Hey Bear Sensory, dan Go, Dog, Go! bahwa orangtua tetap perlu mewaspadai beberapa konten edukasi anak di YouTube Kids yang bertempo terlalu cepat karena dapat bersifat "hiperstimulasi" atau cenderung mendorong anak menjadi hiperaktif.
Anak hiperaktif ditandai dengan gejala-gejala seperti anak mudah marah, sering mengamuk, gangguan perhatian, dan empati yang rendah.
Belum lagi tontonan anak-anak ini bisa menjebak, mungkin awalnya konten edukasi anak memuat kartun, namun lama-lama beralih ke konten lain yang mengandung unsur kekerasan, horor, dan pornografi.
Sannes juga membahas jika anak-anak menonton konten-konten yang biasa ditonton orang dewasa seperti tiktok atau instagram dapat mempengaruhi rentang perhatian anak-anak. Hal ini disebabkan oleh tayangan dengan tempo terlalu cepat.
Adegan yang ditayangkan hanya beberapa detik justru membuat otak anak mengalami rangsangan berlebihan dan memberikan infus dopamin yang stabil akhirnya membuat anak menjadi tenang. Ketika video selesai, anak jadi tantrum nggak karuan, ini merupakan tanda umum anak kecanduan screen.
Realita ini menjadi dilematik bagi orangtua di Indonesia yang sejauh ini terobsesi mengandalkan konten edukasi Kinderflix dalam mengajarkan anak-anak secara komunikatif dalam melafalkan bahasa. Hal ini karena konten edukasi untuk anak-anak di televisi Indonesia cenderung minim.
Jika kita melihat jumlah balita di Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), proporsi balita sebanyak 12,11 persen berusia kurang dari satu tahun, 58,78 persen berusia 1-4 tahun, dan 29,11 persen berusia 5-6 tahun. Sedangkan di sisi lain, berdasarkan data di tahun 2019, acara televisi yang mendidik anak-anak hanya 0,07 persen, sisanya dikuasai oleh 39 persen iklan, 31 persen sinetron, 15 persen berita.
Rita Pranawati, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan bahwa seharusnya penyiaran di Indonesia berpegang pada empat klaster perlindungan anak, yaitu menyediakan informasi layak anak, pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya yang bermanfaat bagi perkembangan anak.
Menurut laporan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), konten edukasi anak yang interaktif, seperti panggilan video dan obrolan video secara langsung justru membantu anak-anak mempelajari kosakata baru, meningkatkan pemahaman anak-anak dan membantu mereka belajar berbicara.